Minggu, 25 Desember 2011

Lelaki yang (ingin) aku cintai

Belakangan, di labuhan hati yang mendadak dicipta meluas. Ada banyak kecintaan yang memang ku paksa untuk ditambatkan. Meski sedikit kesulitan, tapi inilah bagian dari langkah seribu. Yang harus ku lakukan dengan cepat.

Belakangan juga, ku coba deskripsikan tentang arti banyak cinta, yang singgah dan tak jarang bermunculan sendiri di lahan sanubari. Bak jamur di musim penghujan. Begitu cepat berdispora, dan menyebar ke seluruh penjuru mata angin. Maka kemudian, satu nama untuk hidupku kini, di episode ini; menebar cinta di bumi.

Jika aku tahu bagaimana rasanya cinta untuk sahabat, jika ku dapat bedakan dalamnya cinta ibunda, perkasanya cinta ayahanda, kuatnya cinta pada adik dan kakak, dan bermacamnya cinta pada apapun yang asalnya dariNya dan muaraNya untuknNya serta pijakannya adalah karena kecintaan kepadaNya. Maka, pelan namun pasti pun telah ku siapkan (ruang) cinta untuk sang imam, jika takdir itu benar-benar datang menyapa. Memupuk kerinduan pada banyak keberkahan, agar langkahku kian terpacu cepat. Meski jujur harus diakui, bahwa aku masih kualahan mengobrak-abrik rasa takut, di suatu dimensi rasa yang sulit untuk dijelaskan pada siapapun. Biarlah… sungguh, cukup Allah yang menjadi saksi atas kegigihanku melawan naluriku sendiri. Cukup Allah yang menjadi saksi bahwa aku tidak berdiam diri.

Semuanya, ku lihat lagi. Review bahasa kerennya. Sebuah rancangan kehidupan yang ku orientasikan hingga berkepanjangan sampai akhirat. Tak putus, meski garis kematian siap membentang di kapan saja, memangkas banyak amalan hati. Karena begitulah Allah menjamin, bahwa akan ada kebaikan yang tak ada putus-putusnya, jika semuanya berbahan dasar keimanan.

Sempurna, ku rasa. Kemudian dalam tawakal, ridha terhadap apapun takdirNya.

Hingga hentakan dahsyat itu datang. Seorang lelaki yang seharusnya menjadi perhatian, telah dilupakan arti pentingnya. Di masanya, ia adalah pemuda idola, tak pernah dusta lagi bisa dipercaya.

Wahai Rasullullah… apa kabar cintaku padamu? Sungguh baru kusadari, jarang sekali ku sebut-sebut perasaan ini untukmu, meski ku gentol mengaku ummatmu. Ingatan tentangmu bukanlah untuk cinta, namun karena kiblat segala laku adalah sosokmu.

Padahal cinta untukmu adalah penanda keimanan. Lalu, kenapa selama ini rasaku hanya berasyik masyuk denganNya? Jelas aku bukan sufi dan menolak disebut sufi. Aku adalah ummatmu. Bagian dari kebimbanganmu di detik-detik sakaratul maut itu yang kau sebut hingga berulang tiga kali.

Wahai Rasullullah… ijinkan aku mencintaimu… Aku kembali ke titik nol. Tak ada rancangan apapun dalam hidupku, dalam hatiku. Dadaku kosong… semuanya luruh… semuanya runtuh… Sebab setelahNya adalah hakmu. Dan ku tunaikan segera, insyaAllah…

Allah… ampuni khilaf ini.

Dialah lelaki yang (ingin) kucinta segera dan saat ini. Dengan cinta yang tak seperti biasanya apalagi sekedarnya. Dialah MuhammadMu.

***

/rf_Allahumma shalli ‘ala Muhammad, ya Rabbi shalli ‘alaihiwasallim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar